Sabtu, 21 Februari 2009

Wanita Jepang

1.1. Latar Belakang

Sampai saat ini masih ada orang beranggapan bahwa kehidupan wanita Jepang masih sangat tradisional. Dalam arti, mereka diikat oleh nilai-nilai tradisional yang ketat seperti berjalan bersama suami, mereka harus berada tiga langkah di belakang. Selain itu yang juga menarik adalah dalam masalah perkawinan.

Perkawinan memang merupakan suatu perisitiwa yang penting di dalam kehidupan seseorang. Dalam perkawinan melibatkan dua orang, yaitu pria dan wanita yang telah memenuhui syarat-syarat yang terdapat dalam peraturan perkawinan dan bertujuan untuk menciptakan sebuah keluarga yang bahagia. Tetapi, arti perkawinan bagi setiap orang tidaklah sama. Demikian pula di Jepang.

Perkawinan bagi orang Jepang dapat dilihat sebagai suatu kunci yang terjadi di dalam lingkaran hidup seseorang dan dipercaya merupakan suatu peristiwa yang harus dilalui oleh setiap orang. Perkawinan harus dilalui seorang orang karena merupakan peristiwa penting. Dalam arti, kondisi yang membuat orang menjadi dewasa (ichininmae) dan manusia yang sempurna (1).

Dari sini dapat kita lihat bahwa orang Jepang melihat perkawinan bukan hanya sebagai kewajuban yang harus dipenuhui oleh setiap manusia dalam rangka mempertahankan kelangsungan. Tetapi juga mengungkapkan eksistensinya secara alami. Pandangan yang seperti ini dibebankan kepada kaum wanita terutama wanita yang lahir pda tahun 1935 (2) yang dibesarkan oleh nilai-nilai sebelum perang yang disebut dengan Ie. Nilai-nilai tradisional ini diajarkan secara turun menurun oleh orangtunya (terutama ibunya). Dalam nilai-nilai tradisional ini wanita diajarkan untuk bertingkah laku sesuai dengan umur dan peranannya dalam masyarakat 93) dan salah satunya adalah dalam hal perkawinan. Misalnya, bila telah memasuki usia yang tepat untuk menikah maka wanita diharuskan untuk segera menikah. Selain itu, apabila bila telah menikah wanita memiliki kewajiban untuk memberikan anak bagi suaminya agar dapat mempertahankan Ie. Bagi para wanita ini, perkawinan dianggap sebagai tujuan hidup yang utama dan merupakan suatu keharusan karena perkawinan merupakan sumber dari kekuatan ekonomi selain untuk meneruskan tali keluarga (4). Dari perkawinan para wanita Jepang juga mengharapkan akan mendapatkan kebahagian dan perlindungan (5). Dengan kata lain, perkawinan merupakan satu-satunya pilihan yang tersedia bagi wanita dalam menjalani hidupnya. Anggapan ini kemudian sedikit demi sedikit mulai mengalami perubahan, terutama setelah kekalahan Jepang dari AS pada PD II. Di bawah ini pendudukan Amerika terjaddi perubahan yang cukup besar yang kemudian mempengaruhui cara hidup orang Jepang (6).

  1. Perubahan Undang-Undang Jepang

Sebelum perang, dalam UU Meiji 1889 sistem keluarga di Jepang didasarkan pada sistem Ie. Dalam sistem tersebut kepala keluarga merupakan pemegang kekuasaan tertinggi sementara anggota keluarga yang lain berada di bawahnyadan harus tunduk/patuh pada keputusan kepala keluarga. Setiap anggota dari Ie diharapkan untuk menomorduakan kepentingan pribadinya demi Ie.Bahkan dalam masalah perkawinan kepala keluarga behak untuk turut campur dalam pengambilan keputusan. Sesuai dengan sistem Ie makan perkawinan pada masa itu lebih banyak dilakukan berdasarkan perjodohan (8). Anak (laki-laki terutama perempuan) tidak mempunyai hak dalam menentukan pasangannya atau dengan kata lain perkawinan pada masa sebelumnya perang lebih merupakan perkawinan di antara dua keluarga daripada dua individu yang bersangkutan. Dalam sistem Ie kedudukan wanita sangat rendah. Mereka tidak memiliki hak apapun, tugas mereka hanya mengurus rumah tangga dan anak mereka dan semua hal yang dilakukan oleh wanita bertujuan untuk mendukung suami. Namun, dengan diberlakukannya UU Jepang 1946 merubah keadaan ini karena dalam Undang-Undang ini hak-hak wanita mulai diperhatikan. Perubahan undang-undang ini sebenarnya merupakan tujuan utama dari Amerika sebagai penguasa karena AS beranggapan bahwa UU Meiji 1889 kurang memperhatikan hak-hak warga negara. Pada mulanya Amerika mengajak pihak Jepang untuk turut serta di dalam merusmuskan undang-undang baru, Namun, undang-undang baru tersebut lebih merupakan pengarahan dari pihak Amerika tanpa ada diskusi dengan pihak Jepang (9). Dalam UU Baru 1946 mulai dimasukkan paham demokrasi sehingga berdasarkan paham ini hak-hak manusia sebagai warga negara lebih diperhatikan dan dijamin.

Dengan adanya Undang-Undang ini maka dapat memperbaiki kedudukan wanita. Penegasan yang tercantum secara eksplisit dalam pasal-pasal Undang Undang Jepang 1946 menimbulkan kepercayaan diri dan kemandirian bagi wanita Jepang yang lahir pada tahun 1946 dan didik di bawah jaminan persamaan hak di antara pria dan wanita.

  1. Perkembangan Pendidikan Wanita

Pada zaman Meiji, pendidikan disusun berdasarkan ajaran Konfisiun. Ajaran konfusiun ini kemudian diambil sebagai dasar program pemerintah dan dijadikan tujuan utama dari sistem pendidikan wanita pada masa itu. Pemerintah beranggapan bahwa wanita merupakan sumber kekayaannegara yang memegang peranan penting di dalam perawatan dan pendidikan anak sebagai generasi penerus nama keluarga dan negara. Oleh karena itu, sesuai dengan tujuannya maka pendidikan yang diberikan bagi wanita adalah pendidikan yang berhubungan dengan rumah tangga dan perawatan anak karena tanpa pendidikan ini tidak mungkin dapat menjadi isteri dan ibu yang baik. Maka dapat diartikan bahwa tujuan pendidikan wanita adalah untuk membentuk ryosai kenbo-ibu yang baik dan isteri yang bijaksana agar dapat mempertahankan sistem keluarga. Dalam rangka mempersiapkan wanita menjadi ryosai kenbo maka sejak tingkat dasar samapi dengan tingkat atas diajarkan pelajaran khusus sesuai yaiut membaca, menulis, memasak, dan menjahit. Dengan kata lain, tujuan dari pendidiklan ini adalah untuk mempersiapkan wanita yang akan memasuki jenjang perkawinan agar dapat menjadi ibu yang baik dan isteri yang bijaksana. Hal ini menyebabkan kesemaptan pendidikan yang tersedia bagi wanita menjadi terbatas. Tetapi, pada tahun 1946 pendidikan bagi wanita mulai mengalami perubahan. Di bawah pendudukan Amerika mulai dilakukan bebrapa perubahan paling utama adalah penegasan yang terdapat di dalam UU Jepang 196 bahwa pria dan wanita memiliki hak unutuk memperolah pendidkan yang sama yang sesuai dengan dengan kemampuan (10). Selain itu, adanya perubahan kurikulum yang mencakup wajib belajar dari 6 tahun menjadi 9 tahun. Meskipun, kesempatan telah terbuka bagi wanita dengan adanya perbaikan ini tapi pada umumnya wanita-wanita ini lebih banyak memilih untuk menekuni bidang-bidang yang sesuai dengan dirinya, yaitu bidang dari ilmu pengetahuan, seperti: bidang kesusasteraan dan kesenian atau pendidikan. Pada tahun 1967 terdapat 47% pelajar wanita pada tingkat universitas dengan lama pendidikan 4 tahun memilih bidang tersebut di atas sementara bidang lain seperti ekonomi, politik, sosiologi hanya 2% dari jumlah pelajar wanita yang berani mencoba memasuki bidang teknik (yang selama ini didominasi oleh kaum pria). 13

Kedua hal di atas memberikan pengaruh besar pada wanita Jepang terutama mereka yang lahir setelah tahun 1946. Pikiran mereka menjadi terbuka terutama dalam hal pandangan terhadap masalah perkawinan yang mulai berubah. Mereka sadar bahwa menikah menikah bukanlah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menjalani hidup, tapi masih ada pilihan-pilihan lain. Untuk itu bagi wanita yang telah menikah dan menjadi ibut rumah tangga, mereka berusha untuk mencari kehidupan lain di luar kehidupan yang ada sekarang. Antara lain yang mereka lakukan adalah ada yang bekerja, ikut dalam kegiatan organisasi, dan ada yang melanjutkan pendidikannya. Dengan mendapatkan penghasilan sendiri, mereka percaya bahwa mereka dapat mandiri tanpa harus tergantung pada laki-laki. Kalaupun menikah, syarat-syarat yang diberikan pada calon suami juga sudah berubah. Mereka mengharapkan suami mereka mau mengijinkan mereka untuk bekerja di luar rumah tangga dan membantu mereka di dalam menyelesaikan pekerjaan rumah tangga.

Tidak ada komentar: